Mendengar kata Lomba, semua akan sepakat bahwa destinasi akhir lomba adalah Juara. Walaupun semua orang juga tahu kalau proses untuk menjadi juara juga sulit, berat dan berliku. Ceritakanlah kepada saudara, teman atau siapa saja, kalau kamu pernah mengikutoi lomba. Pasti mereka akan merespon dengan satu kalimat : “Dapat juara berapa?”. Mending kalau dapat predikat juara, kalau hanya penggembira saja biasanya kita suka menghibur diri dengan kalimat : “Lumayan dapat pengalaman”.
Modal utama untuk mengikuti lomba sebenarnya hanyalah sense of interest
atau rasa ketertarikan, karena dari rasa tertarik akan muncul efek-efek yang
menakjubkan. Contoh : tertarik lomba karya tulis mendorong untuk suka baca.
Tertarik lomba nyanyi mendorong untuk sering mendengarkan musik dan tertarik
lintas alam mendorong untuk giat berolahraga. Namun sense of interest tidak
berlaku untuk anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan orang tua. Saya masih
ingat ketika usia 7 tahun sudah dipaksa untuk mengikuti lomba MTQ di desa. Sebenarnya
bukan dipaksa tapi di bujuk dengan iming-iming.
Berbeda dengan lomba yang membutuhkan pembimbing (misal lomba mewakili
Sekolah), bukan saja peserta yang harus mempunyai ketertarikan tapi
pembimbingnya pun dituntut untuk punya selera dengan obyek yang akan di
lombakan. Ingat, kemauan (keikut sertaan) dan ketertarikan adalah dua hal yang
berbeda. Seribu alasan,orang mengikuti lomba. Dan dari seribu orang itu, hanya
segelintir orang yang niat awalnya memang tertarik. Hadiah adalah salah satu
contoh alasan mengapa kita tertarik untuk mengikuti lomba. Contoh-contoh yang
lain, misalnya tingkat kesulitan, gengsi, hobi, uji mental dan lain-lain, juga
menjadi daya tarik tersendiri. Artinya, menyamakan ketertarikan pembimbing
dengan peserta butuh trik khusus.
Teorinya, semua pembimbing selalu menghendaki hasil maksimal,
tetapi pada prakteknya terkadang pembimbing terkesan hanya melaksanakan
perintah atasan tanpa ada sense of interest, toh kalah menang adalah hal biasa.
Sistim bimbingan yang tidak terstruktur, atau terstruktur tapi tidak sistimatis
adalah contoh dari model bimbingan yang kurang mempunyai ketertarikan. Tujuan
mengikuti lomba terkesan hanya sekedar penggembira.
Berikut
ini adalah tip khusus mengikuti jenis lomba yang mewakili sekolah.
1.)
Penunjukan langsung sebaiknya dihindari.
karena disamping
menciptakan kecemburuan antar siswa juga subyektifitas penunjuk akan
dipertanyakan bila hasil yang dicapai tidak sesuai harapan. Semakin obyektif
dalam menyeleksi, memang semakin merepotkan bagi pembimbing, namun mental siswa
yang belum terbentuk itulah yang mendasarimengapa proses seleksi harus se
obyektif mungkin.
2.)
Persiapan seleksi minimal 6 bulan sebelumnya.
Karena lomba yang
mewakili sekolah jangka waktunya lebih bersifatperiodik, maka persiapan
seleksijauh-jauh hari sudah mulai dipersiapkan. Banyak contoh guru yang mati
gaya ketika mendapat undangan lomba yang pelaksanaanya tinggal 1 minggu padahal
sebenarnya lomba tersebut dilaksanakan tiap tahun.
3.)
Hanya 10 siswa yang telah kita tunjuk, yang berhak ikut seleksi.
Penunjukan 10 siswa
berpatokan pada keseharian mereka. Separuh diambil karena perilaku mereka dan
selebihnya karena prestasi akademis.
4.)
Minimal 4 kali seleksi harus mengerucut menjadi 2 siswa.
Artinya dalam satu kali
proses seleksi harus tereliminasi 2 siswa.
5.)
Materi seleksi lebih dominan bersifat akademis.
Namun minimal 20% harus
ada korelasi dengan materi lomba. Selebihnya materi lebih bersifat umum karena
pendadaran dan pematangan dilakukan setelah terpilih 2 kandidat
6.)
2 kandidat yang terpilih harus dipertahankan sampai 2 hari
menjelang lomba, sampai diputuskan salah satu harus menjadi cadangan.
7.)
Pematangan materi lomba harus kontinyu.
Minimal 10 sampai 20
kali pertemuan, yang terstruktur dan sistimatis dengan materi yang lebih
spesifik sesuai materi lomba.
Akhirnya, yang bisa kita
lakukan hanyalah berusaha yang terbaik. Selebihnya hanyalah berdoa. Jika Doa
tidak merubah hidupmu, paling tidak Do’a menenangkanmu.